Baca yang Teliti
Mustajab, Tayu Wetan, dan Tradisi Santri
Kalender Masehi menunjukkan tanggal 23 Agustus 1887. Lebih dari satu seperempat abad yang lalu, sebuah bayi laki-laki lahir dari pasangan Siti Rohmah dan Sansuri. Bertepatan dengan tanggal 05 Dzulhijjah 1304 Hijriah, bayi ini diberi nama Mustajab. Kelahiran bayi ini disambut dengan suka cita oleh sanak saudara dan tetangga, seperti halnya kelahiran pada umumnya. Mustajab adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Nama Mustajab kemudian berubah menjadi Bisri Syansuri setelah perjalanannya pulang dari Mekkah.
Bisri memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Mas’ud, anak sulung, dan Muhdi, yang lahir setelahnya. Ia juga memiliki seorang saudara perempuan bernama Sumiyati dan seorang saudara perempuan lagi bernama Syafa’atun. Keluarga mereka tinggal di Tayu Wetan, sebuah daerah di kecamatan Tayu, kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Tradisi agama memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Tayu adalah ibukota kecamatan yang terletak di timur laut Semarang, di pesisir pantai utara Jawa, dan memiliki budaya sosial-keagamaan yang kuat. Penduduk Tayu umumnya memiliki tingkat ekonomi yang rendah karena tanah pertanian yang kurang subur dan hasil laut yang terbatas. Masyarakat Tayu, yang sebagian besar nelayan, sering kali bergantung pada keajaiban dan kekuatan Tuhan saat melaut karena ketidakpastian lautan lepas.
Di samping kepercayaan kepada hal-hal gaib, masyarakat Tayu juga sangat religius dalam Islam. Islam adalah bagian integral dari kehidupan mereka, dan mereka menjalankan peribadatan rutin serta mengamalkan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, mereka sering disebut sebagai “kaum santri.”
Tayu Wetan menjalani kehidupan yang sangat berpegang pada ajaran Islam. Di daerah ini, Islam menjadi landasan yang kuat bagi kehidupan sehari-hari. Pesantren-pesantren besar yang menjadi pusat pendalaman ilmu agama terus bermunculan di pesisir utara Jawa, dan mereka berperan penting dalam pengembangan agama Islam di pedalaman Jawa.
Bisri Syansuri, lahir dari latar belakang ini, ditakdirkan menjadi bagian dari proses memantapkan ajaran Islam di pedalaman Jawa. Keluarga ibunya memiliki tradisi keagamaan yang kuat, dan beberapa anggota keluarga tersebut adalah ulama terkemuka. Keluarganya berasal dari Lasem, sebuah daerah hampir 90 kilometer sebelah timur Tayu, yang juga dikenal sebagai pusat pengembangan Islam dan pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya. Dalam tradisi yang kuat ini, Bisri Syansuri tumbuh menjadi seorang ulama besar yang memberikan kontribusi berharga pada sejarah bangsa dan negara.