Pidato-pidato Rais ‘Aam PBNU, KH Abdul Wahab Chasbullah telah dibukukan dengan baik oleh Abdul Mun’im DZ, dalam buku Kaidah Berpolitik dan Bernegara. Bagaimana dengan pidato Rais ‘Aam selepasnya, yaitu KH Bisri Syansuri? Hingga saat ini penulis belum menemukan. Tulisan ini sekaligus harapan agar secepatnya pidato Kiai Bisri lekas ditemukan, dan kemudian dibukukan. Memang, pidato Kiai Bisri Syansuri di hadapan muktamrin sudah ada. Ketika itu, sebagai Wakil Rais ‘Aam beliau diminta oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah, untuk berpidato mewakili Rais ‘Aam. Terkait posisi pidato ini, Kiai Saifuddin Zuhri dalam buku Mbah Wahab Chasbullah Kiai Nasionalis Pendiri NU menyatakan, Menjelang Muktamar ke-25 di Surabaya pada tanggal 20-25 Desember 1971, Kiai Wahab menyerahkan acara Khutbatul Iftitah (Pidato Pembukaan Muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais ‘Aam sendiri pada tiap-tiap pembukaan muktamar) kepada KH Bisri Syansuri selalu wakilnya. Hal ini sangat tidak memungkinkan untuk beliau kerjakan sendiri karena penglihatan beliau yang tidak dapat membaca teks Khutbatul Iftitah. Inilah khutbatul iftitah terakhir Kiai Wahab selaku Rais ‘Aam Partai Nahdlatul Ulama, suatu pidato terakhir yang diserahkan penyusunan dan pembacaannya kepada Wakil Rais ‘Aam, KH Bisri Syansuri, yang isinya disetujui seluruhnya oleh Kiai Wahab serta dipertanggungjawabkan olehnya. Pidato ini dimuat dalam empat belas halaman. Ada beberapa ayat Qur’an yang disitir Kiai Bisri, dan ditafsirkan. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengutip pandangan Kiai Bisri tentang Pemilu, Demokrasi, Pancasila, dan Pengarusutamaan Aswaja. Tentang posisi dan urgensi pemilu, Kiai Bisri berkata, “…Suatu proyek dan prasarana demokrasi yang bersifat nasional yang memang diperintahkan oleh Syara’ Islam, maka Partai Nahdlatul Ulama merasa wajib memprioritaskan pemilihan umum daripada bermuktamar. Wajib mendahulukan kepentingan yang lebih umum dan bersifat nasional, mengesampingkan buat sementara kepentingan yang bersifat golongan…” Tentang pengokohan Pancasila dan Demokrasi, Kiai Bisri berkata,”…ke dalam usaha yang lebih fundamental lagi, yakni menegakkan serta mengokohkan Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari bagi bangsa dan negara Republik Indonesia sebagai bangsa dan negara yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sudah barang tentu, cara memanfaatkannya dapat ditempuh serta dituangkan dalam media-media dakwah amar makruf nahi munkar, dalam jalur politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan dan jalan lain yang bermanfaat, dengan menjunjung tinggi asas-asas demokrasi, perikemanusiaan dan keadilan sosial sebagaimana diajarkan oleh Pancasila sendiri.” Dan tentang bahwa yang utama itu adalah aqidah dan himmah (cita-cita) Ahlussunah wal Jamaah, Kiai Bisri menyatakan,”…Kadang-kadang, karena kita terlampau asyik, dan ghirah kita kepada bidang politik dan ekonomi sangat besar, kita sering mengesampingkan norma-norma Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak bisa disangkal bahwa urusan politik dan ekonomi memanglah penting dalam mengatur tata hidup kita bernegara dan bermasyarakat; tetapi norma-norma aqidah dan syariah adalah lebih mutlak, karena justru Islam meletakkan aqidah dan syariah untuk melandasi pekerjaan-pekerjaan politik, ekonomi, dan sebagainya, agar sehat dan bermanfaat bagi umat manusia pada umumnya.” Demikian beberapa kutipan Khutbah Iftitah pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya (20-25 Desember 1971) yang disusun dan dibaca oleh Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Bisri Syansuri, yang isinya disetujui oleh Rais ‘Aam PBNU KH Abdul Wahab Chasbullah. Sebagaimana diketahui, Muktamar ke-25 NU di Surabaya pada 20-25 Desember 1971 adalah muktamar terakhir yang diikuti oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sebanyak 25 kali muktamar NU, KH Abdul Wahab Chasbullah selalu hadir, tanpa pernah absen. Kiai Wahab Chasbullah wafat pada Rabu, 29 Desember 1971 di kediamannya, Pesantren Tambakberas Jombang, empat hari setelah Muktamar. Dan pada tanggal dan tahun itu pula, agar tak ada kekosongan jabatan Rais ‘Aam, KH Bisri Syansuri diikrar baiat sebagai Rais ‘Aam oleh perwakilan PBNU, yaitu KH Idham Chalid, KH Saifuddin Zuhri, dan Nuddin Lubis.
Ustadz Yusuf Suharto, Dosen Ma’had Aly Mamba’ul Ma’arif Denanyar