Membicarakan Hak Asasi Manusia seakan-akan banyak kalangan menjadikan rujukan pola Barat sebagai kiblat dan pahlawan dunia, terutama diktum UU PBB yang sekitar 10 Oktober 1948 baru disepakati. Terkadang dari kalangan nahdliyin sendiri tidak ada pernyataan yang sekadar mengklarifikasi atau bahkan memberikan statemen yang menguatkan bahwa sejatinya peletak dasar-dasar HAM adalah Kanjeng Nabi Muhammad saw., sebagaimana khutbah beliau saat pelaksanaan haji wada’ sekitar tahun 10 H/16 Pebruari 631 M yang lalu:

يَااَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ وَاَعْرَضَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ فِي شَهْرِكُمْ هَذَا (رواه البخارى والمسلم عن أبى بكرة)

Wahai manusia, sesungguhnya jiwa kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah terhormat, seperti terhormatnya hari ini (Arofah), terhormatnya negeri ini (Mekkah) dan terhormatnya bulan ini (Dzil Hijjah)

Statemen ini jelas bersifat universal, lintas bangsa bahkan lintas agama. Kenapa? Secara redaksional Nabi tidak memakai lafadz hai orang-orang yang beriman, (Yaa ayyuha al-ladzina amanu), tetapi hai manusia (Yaa ayyuha al-nas), kendati dipastikan yang hadir pada waktu itu adalah semuanya orang Islam yang sedang melakukan proses ibadah haji.
Dawuh Kanjeng Nabi itu, tidak hanya bersifat asumtif apalagi prediksional yang barangkali kemunculannya disebabkan oleh serentetan kasus yang secara umum melanggar HAM. Namun, sudah menjangkau dan melompati nalar manusia waktu itu. Bukankah persoalan nyawa seseorang, hak-hak pemilikan atau harkat martabat seseorang adalah hal yang menjadi prioritas untuk tidak sekadar dihormati namun harus diperjuangkan? Maka term HAM telah lama terpikirkan oleh Islam jauh sebelum adanya MOU antar kepentingan negara-negara dunia yang terangkum dalam kesepakatan yang PBB menjadi pionernya lahir.
Sesuai dengan perkembangan sejarah Islam, dari diktum haji wada tersebut dalam rangka mewujudkan misi utama Islam rahmatan lil alamin , maka maksud dan tujuan tersebut terakumulasi dalam Kulliyat al-khams (lima prinsip universal) yaitu; memelihara nyawa (hifdz al-nafs), memelihara harta benda (hifdz al-mal), menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), menjamin kekebasan berekspresi dan beropini (hifdz al-aql) dan menjaga keturunan serta profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl). Kelima prinsip itulah sangat relevan dan sejalan dengan dasar-dasar dan pilar HAM negara di dunia manapun.

Pertama, hifdz al-nafs: Hak untuk hidup, pada tataran ini sekiranya ada empat hal yang harus menjadi perioritas untuk diperjuangkan oleh siapapun termasuk NU, yaitu; 1) hak bebas dari rasa takut, 2) hak bebas dari rasa lapar, 3) hak untuk menentukan nasib sendiri, dan 4) hak untuk mendapatkan perlindungan jiwanya.
Kedua, hifdz al-din: Hak untuk berkeyakinan. Dalam konteks keindonesiaan, pluralitas agama adalah sebuah keniscayaan yang oleh siapapun, tidak ada ruang untuk memperdebatkan (QS. Al-Baqarah: 256 dan QS. Al-Kafirun). Keniscayaan yang dimaksud adalah bersifat mutlak, temasuk tidak diperkenankannya memaksa orang lain untuk memeluk agama tertentu walau paksaan ini hadir dari pemegang otoritas (Kanjeng Nabi) tetap saja terlarang:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ
جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?” (QS. Yunus: 99)

Ketiga, hifdz aql: hak untuk mengeksplorasi pemikiran yang dalam hal ini terdapat lima prinsip mendasar, yaitu; 1) hak untuk beropini, 2) hak untuk berekspresi, 3) hak atas pendidikan, 4) hak berbudaya, dan 5) hak untuk berserikat.
Keempat, hifdz al-mal: hak atas property yang mencakup; 1) hak jaminan sosial, 2) hak atas upah yang layak, dan 3) hak untuk dilindungi harta kekayaannya.
Kelima, hifdz al-irdl wa al-nasl: hak privacy yang diantaranya; 1) hak untuk bebas dari penganiayaan, 2) hak untuk bebas dari tindakan kesewenang-wenangan, dan 3) hak berkeluarga/berketurunan.
Pertanyaannya, sudah cukupkah mengetengahkan alur sejarah yang menghadirkan kesejukan sebagaimana pernyataan Kanjeng Nabi tadi untuk memutus mata rantai tuduhan kekerasan yang selama ini selalu dialamatkan kepada dunia Islam, terutama dunia pesantren-NU?
Jelas jawabannya adalah tidak cukup, apalagi jika kekerasan yang selama ini disajikan oleh kaum teroris adalah notabene muncul dari kantong-kantong pesantren. Sungguh dilematis, di satu sisi Islam memang rahmatan lilalamin, namun pada sisi lain sebagian kelompok mengedepankan ayat-ayat jihad yang dimaknai qital (membunuh) sebagai privacy ticket untuk masuk surga. Membunuh merupakan hal yang diasumsikan tukar guling atas perjumpaannya dengan Allah SWT. Oleh karenanya, menghadirkan alur historis yang terselip pada tindak lampah Kanjeng Nabi belum cukup ampuh untuk menghijrahkan pemahaman yang radikal menjadi yang rahmat. Sehingga wajar kita sendiri sebagai warga nahdliyin terkesan mengamini yang menganggap bahwa PBB adalah peletak embrio dari segala perjuangan hak asasi manusia.

Sementara term HAM oleh PBB baru bergulir setelah Universal Deklaration of Human Right disepakati dunia pada 10 Oktober 1948 yang mencantumkan 30 pasal. Diktum PBB itu baru ditaqid melalui pertemuan international convenant on Economic and Cultural Right, 31 Januari 1976 dan International Convenant on Civil and Political Rights pada 23 Maret 1976. Al-hasil, konsepsi yang menyangkut hak-hak asasi manusia jauh telah dipikirkan oleh Kanjeng Nabi pada saat haji wada 9 Dzilhijjah 10 H/16 Pebruari 631 M.

SIKAP (seharusnya) PCNU Jombang:
Baik diktum haji wada maupun diktum PBB adalah dua konsepsi yang memiliki relevansi. Paling tidak, pemetaan kedua konsepsi itu sekalipun berbeda namun terdapat titik temu yang oleh NU dikembangkan pada kemudian hari. Sebab dasar filosofis yang terbangun dari diktum haji wada adalah al-adilah al-Syariah sementara HAM oleh PBB berdasarkan Sense of Humanity.
Dari kedua diktum itulah NU mengembangkannya dalam bentuk empat kerangka yang dasar, yaitu; tawassuth. Tawazun, tasammuh dan I;tidal. Karena masih berbentuk kerangka dasar, maka butuh pengembangan yang kontekstual dan rasional yang tentu mempertimbangkan dasar filosofis kedaerahan. Keempat dasar itulah yang menjadi karakter Aswaja (NU) selama ini, dan saya kira akan konsisten dan tidak akan bergeser sedikitpun.
Tawassuth, moderasi yang hendak dibangun oleh NU harus mencakup: 1) ukhuwwah islamiyah; sikap moderat tidak sampai mengabaikan kerekatan secara internal, 2) ukhuwwah wathaniyyah; mengedepankan check and balances dalam hubungannya dengan Negara-bangsa, dan 3) ukhuwwah basyariyyah; sikap moderat juga harus ditunjukkan dengan menjalin hubungan yang harmonis terhadap lintas etnis. Sikap pertengahan (moderat) merupakan karakterisktik Islam. Sebagaimana QS. Al-Baqarah: 143.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي عَقِبَيْهِ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..”

Tawazun, keseimbangan yang dimaksud adalah tidak kelebihan atau kekurangan unsur yang lain. Dalam konteks NU Jombang, sikap tawazun tetap berprinsip pada keperpihakan kepentingan umat, adanya keseimbangan antara NU sebagai jamiyyah maupun sebagai jamaah. Secara Jamiyyah Diniyyah, NU harus seimbang dan fair dalam penggunaan dalil naqli (al-Quran dan al-hadits) dengan dalil (kontekstualisasi) aqli terutama sikapnya saat berhadapan dengan pemerintah atau even pilkada. Sebab tidak sedikit dari elit NU tidak segan-segan mengatasnamakan NU dengan membawa dalil-dalil naqli untuk mengusung calon-calon tertentu dalam pilkada, pilgub atau pilbup. Keseimbangan berkepetusan dengan selalu menimbang dampak dikemudian hari adalah hal yang sangat penting. Sebagai Jamaah ijtimaiyyah tetap menjaga kultur kedaerahan yang terasa sensitif dan rawan konflik. Maka tinggal bagaimana aplikasi adagium:

اَلْمُحَافَظَةُ على الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ

”Melestarikan tradisi-tradisi klasik yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang relevan dan inovatif”
Mengejawantah adagium di atas sangat membutuhkan kearifan sikap antara generasi tua dan generasi muda. Generasi tua sebagai referensi tradisi lama harus tetap menyeleksi inovasi dari seorang generasi muda, begitu juga generasi muda tetap berlaku kritis atas kebijakan seniornya manakala keklasikan itu telah dianggap basi. Kerelaan keduanya untuk saling check and recheck adalah kebiasaan yang selalu berkelindan.s
Tasammuh, persamaan untuk memberikan atau memperjuangkan hak-hak rakyat secara universal, tidak mengedepankan teori mapping saat hendak melakukan amilu al-shalihat yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat dalam hal peningkatan kesejahteraan dan strata sosial kemasyarakatan, maka PCNU melalui LAKSPEDAM telah dengan concern mengawal semua itu melalui program-program pendampingan kaum dhuafa yang barangkali lintas komunitas.
Itidal, tidak ada hal lebih penting atas semua itu kecuali menjadi penegak keadilan. Sebab, para pendiri bangsa ini telah menuangkannya dalam pembukan UUD 45 dengan kalimat yang sangat pas untuk diwujudkan oleh semua pihak yaitu mewujudkan rakyat yang adil dan makmur. Peletakkan kalimat adil baru kemudian makmur membuktikan betapa jeli dan telitinya para bapak bangsa ini. Apalah artinya sebuah kemakmuran tanpa landasan keadilan, sebab bisa jadi kemakmuran yang semu, kemakmuran yang hanya dinikamti oleh segelintir orang. Tapi, keadilan merupakan kunci untuk meraih kemakmuran. Keadilan yang tidak berpihak, keadilan yang istiqamah dan dengan hati yag tulus. Sebagaimana Allah telah mengingatkan orang-orang beriman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ

بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)

Walhasil, tentu menjadi garapan kita semua untuk menata-ulang, men-tajdid (memperbarui) atau bahkan meng-ijad (menciptakan hal-hal baru) sebagai pengembangan dan realisasi atas grand designer dan kerangka berfikir hasil konseptualisasi pendahulu kita agar NU mampu menjadi bagian terbesar “Muslim-Muslimah yang Marhamah”.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Al-Faqir,

Aziz Ja’far, santri PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *