Oleh Yusuf Suharto
Dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, hisab diposisikan sebagai pembantu dan pemandu dalam memperlancar pelaksanaan rukyah hilal. Menjadi wajar, jika hasil hisab bertentangan dengan rukyah, maka hisab itu harus ditolak sesuai dengan pendapat Imam ar Ramly, al-Khatib as Sarbiny, dan lain-lain.
Namun, hasil rukyah juga dapat ditolak jika ada kesamaan hasil perhitungan seluruh ahli hisab, dengan merujuk pendapat Imam Ibn Hajar al-Haitamy dalam Tuhfatul Muhtaj.
Nahdlatul Ulama memilih pendapat ulama Syafi’iyah yang mensyaratkan adanya itsbatul hakim untuk penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Sementara itu, itsbatul hakim wajib didasarkan atas rukyah hilal atau istikmal.
Rukyah atau pengamatan hilal akan menambah kekuatan iman. Pengamatan pada benda langit, termasuk di antaranya pengamatan bulan adalah bagian pelaksanaan perintah agama untuk memikirkan ciptaan Allah, agar lebih dalam pengetahuan tentang kemahakuasaan Allah.
Dengan demikian rukyah mempunyai nilai ibadah dalam konteks penentuan waktu ibadah, seperti puasa, hari raya idul Fithri dan Adha. Rukyah hilal untuk awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berhukum fardhu kifayah.
Rukyah juga berdimensi ilmiah. Bukankah pengamatan pada benda langit, termasuk bulan sudah ribuan tahun dilakukan manusia? Hasil pengamatan demi pengamatan dicatat dan dirumuskan dalam bentuk ilmu yang kemudian melahirkan ilmu astronomi dan ilmu hisab.
Pada tahun 2006, buku Pedoman Rukyah dan Hisab Nahdatul Ulama mencatat tidak kurang ada dua puluh lima metode hisab, termasuk metode hisab yang dirumuskan intelektual Nahdlatul Ulama. Para pakar kemudian mengkaji bahwa berbagai metode tersebut beragam tingkat akurasinya; dari tingkat akurasi rendah sampai akurasi tinggi. Ini membuktikan bahwa ilmu hisab itu dinamis, dan semakin menuju ke arah tingkat akurasi tinggi.
Dari tingkat akurasi, secara umum dapat diklasifikasi dalam empat jenjang, yaitu hisab urfi (siklus 8 tahun): hisab istilahi (siklus 30 tahun); hisab haqiqi bit taqrib; dan hisab haqiqi bit tahqiq (sudah memasukkan unsur azimuth bulan, lintang tempat, kerendahan ufuk refraksi, semi diameter bulan, parallaks dan lain-lain ke dalam proses perhitungan irtifa’ hilal).
Perkembangan baru bahwa kriteria imkanur rukyah yang disepakati sebelumnya minimal ketinggian hilal 2 derajat, dan mulai awal Ramadhan 1443 Hijriah, PBNU melalui Lembaga Falakiyah mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 31 Maret 2022 bahwa kriteria imkanur rukyah Nahdlatul Ulama adalah tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi hilal minimal 6, 4 derajat.
(keterangan gambar, beberapa buku di antara kenangan dalam “Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyah Nahdlatul Ulama di Masjid Agung Semarang pada 26 Dzulqa’dah-02 Dzulhijjah 1427 H, atau 17-23 Desember 2006).
Hisab dan Rukyah Antara NU dan Muhammadiyah
Seorang ustadz dari Madiun, bertanya di grup WA Khazanah Islam, “Prayogi jika grup poro ustadz dan akademisi ini mengangkat diskusi tentang lebih kuat mana pendekatan Hisab ataukah Rukyat untuk penentuan awal bulan termasuk awal bulan Ramadhan.
Murni kajian ilmiah berdasarkan berbagai referensi yang ada termasuk pertimbangan lainnya. Slamet Riyadi, Caruban Madiun. Jawaban Hisab posisinya menguatkan rukyah, jadi panduan utamanya tetap rukyah. Insyaallah kita sama-sama sepakat dan sudah maklum bahwa hisab itu ilmiah. Namun, pilihan rukyah NU itu bukan karena ingin berbeda dengan Muhammadiyah, tapi memang rukyah ini adalah metode umumnya Ahlissunnah wal Jamaah dan bukan hanya di Indonesia.
HPT (Himpunan Putusan Majlis Tarjih) Muhammadiyah sendiri pada buku cetakan pertama 1969, halaman 172 menyebut rukyah dahulu, istikmal, baru kemudian hisab. Di buku panduan Muhammadiyah ini juga pada halaman 293, dalam “Masalah Hisab dan Rukyah” ada teks, الصوم والفطر بالرؤية ولامانع بالحساب… “Berpuasa dan ‘Id Fithrah itu dengan rukyah dan tidak mengapa dengan hisab…” Lebih lanjut dalam halaman 293-294, المعتبر بين اثبات الحاسب بعدم وجود الهلال او بوجوده مع عدم إمكان رؤيته وبين رؤية المرء اياه في الليلة نفسها، قرر مجلس الترجيح: الرؤية هي المعتبر “Yang muktabar jika sesuatu hisab menetapkan bahwa nanti malam bulan belum wujud, atau sudah wujud tetapi tidak imkan rukyahnya, dan pada malam itu ada orang yang melihatnya, maka oleh Majlis Tarjih diputuskan: “Rukyatlah yang muktabar.”
Bagaimana dengan Nahdlatul Ulama? Di antara hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU pada 1983, memutuskan bahwa penetapan pemerintah tentang awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan dasar hisab tidak wajib diikuti.
Sebab menurut Jumhurus Salaf bahwa tsubut/penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal itu hanya “birru’yah au itmami ‘adadi tsalatsina yauman” Yang unik dan menarik, ulama Syafi’ iyah yang biasa dijadikan referensi tentang keunggulan hisab, yaitu Imam Taqiyuddin as-Subky sendiri dalam salah satu kitab beliau, malah mengutip begini … لو كان الامام يرى الحساب فأثبت به، لم يتبع، لاجماع السلف على خلافه “….Seandainya imam (penguasa pemerintahan) memandang hilal berdasarkan hisab dan kemudian menetapkannya, maka imam tersebut tidak wajib diikuti, karena bertentangan dengan ijmak ulama salaf.
Syaikh Ibn Rusdy al-Qurthuby (w. 595 H) dalam Bidayatul Mujtahid (halaman 363) menulis, أن الإعتبار في تحديد شهر رمضان إنما هو الرؤية “Yang dibuat acuan dalam penentuan bulan Ramadhan adalah dengan rukyah.” NU memang konsisten memakai metode rukyah. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama, NU mempunyai banyak para alim ulama pakar hisab dan di antaranya menyusun kitab kitab karangan tentang hisab yang hebat-hebat. Kiai Nur, di antara pakar hisab yang menulis kitab, dan beliau sangat percaya diri bahwa kitab atau hitungannya akurat. Dulu PBNU pada 2006 mengadakan Pelatihan Tenaga Hisab dan Rukyah, dengan merawuhkan para alim ulama pakar hisab. Luar biasa para beliau. KH. Makruf Amin, menjadi narasumber juga, pas itu di Masjid Agung Semarang pada 2006. Intinya, dengan menguatkan hisab, jangan sampai melemahkan rukyah. (keterangan lengkap referensi ada dalam foto).