Manusia saat ini berada di alam dunia. Jika telah mati, masuk di alam barzakh. Kabarnya kemudian akan dipungkaskan di alam akhirat. Agar sukses mengalami alam dunia dan akhirat, manusia perlu cara dan metode yang mengantarkannya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Setelah memeluk agama Islam, manusia perlu menjaga keyakinannya ini dengan takwa baik secara samar dan terang-terangan, sebagai sumber pokok segala jenis kebahagiaan dunia dan akhirat. Yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah pertolongan, dan hidayah Allah kepada manusia. Ketika manusia berada dalam taufiq, hidayah dan ma’unah dari Allah, maka manusia berada dalam kebahagiaan. Jika sebaliknya, maka manusia berada dalam kesengsaraan. Komitmen melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi ragam larangan-Nya adalah definisi lumrah taqwa. Ada pula yang mendefinisikan takwa sebagai “menjauhi segala hal yang menjauhkan dari Allah.” Jika disebut bahwa ketakwaan adalah sumber seluruh kebahagiaan, maka mengikuti hawa nafsu adalah pangkal kejelekan. Bagaimana tidak, mengikuti hawa nafsu adalah kecenderungan hati pada apa yang menyalahi syariat agama.  Tunduk pada hawa nafsu menjadikan manusia tertutup dari kebenaran, dan menjadi hamba sahaya nafsunya sendiri.  Wajarlah, Rasulullah pernah bersada yang artinya, “Yang paling aku takuti dari umatku adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Panjang angan-angan (thulul amal) berefek pada melupakan akhirat. Dan melupakan akhirat adalah sebentuk kebodohan. (seri awal, kajian nazam Hidayatul Adzkiya’).

*Ustadz Yusuf Suharto, pengurus Aswaja NU Center Jawa Timur, alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Kabupaten Jombang 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *