Syariat itu adalah berpegang teguh pada agama Allah, dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, sebagaimana maksud nazam

فشريعةٌ اخذٌ بِدين الخالِق# و قيامُه بالأمر والنهي انْجلى

Sedangkan tangga berikutnya adalah thariqah yang merupakan perjalanan seseorang menuju Allah dengan cara mensucikan diri, atau perjalanan yang harus ditempuh seorang salik, agar mampu mendekatkan diri kepada Allah.

Hal terkait bahwa thariqah yang merupakan jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah ini harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, dan yang dicontohkan oleh beliau, para sahabatnya, dan para ulama salaf shalihin.

Suatu saat seorang ulama dari generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri masuk kota Mekah. Beliau melihat seorang pemuda, keturunan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib sedang memberi nasehat kepada masyarakat sembari menyandarkan punggungnya ke Ka’bah. Imam Hasan pun berhenti di dekat pemuda tersebut, lalu mengajukan pertanyaan, “Sendi agama itu apa?” Pemuda itu menjawab, “Sikap wirai (berhati-hati).”
Imam Hasan lanjut bertanya, “Apa kebahayaan dalam agama?” Pemuda itu menjawab,”Thamak (berharap hartanya manusia).”

Imam Hasan merasa kagum kepada pemuda tersebut, kemudian berkata, “Timbangan satu dzarrah (partikel terkecil) sikap wirai yang benar itu lebih baik daripada seribu timbangan puasa dan shalat.”

Dalam nazam Hidayatul Adzkiya dinyatakan,

ﻭَﻃَﺮِﻳْﻘَﺔٌ ﺃَﺧْﺬٌ ﺑِﺄَﺣْﻮَﻁَ ﻛَﺎﻟْﻮَﺭَﻉِ
ﻭَﻋَﺰِﻳْﻤَﺔٌ ﻛَﺮِﻳَﺎﺿَﺔِ ﻣُﺘَﺒَﺘِّﻠَﺎ

“Thariqah adalah mengambil pola kehati-hatian, seperti berperilaku wira’i,
dan juga menahan keadaan yang berat, seperti terus-menerus mengekang nafsu kesenangan”

Dengan thariqah seorang salik akan berusaha mengaplikasikan agama dalam segala aspek, dengan lebih hati-hati misalnya dengan sikap wirai (menjaga dari perkara yg samar), tanpa mau mengambil yang ringan-ringan saja.

Syekh Nawawi Banten dalam Salalimul Fudhala’ menyampaikan bahwa thariqah itu adalah i’timadu as-Salik ‘ala awtsaqil umuri, misalnya sikap wirai.

Meninggalkan perkara yang syubhat (samar) adalah kategori wirainya orang-orang yang shalih. Sedangkan meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak apa-apa untuk dilakukan, tapi khawatir jatuh pada perkara yang tidak boleh dilakukan adalah kategori wirainya orang-orang bertakwa. Sedangkan menjauhi setiap perkara karena tulus Lillahi Ta’ala adalah kategori wirainya para shiddiqin.

#Kajian Hidayatul Adzkiya’ (Petunjuk bagi Para Cendekia).
volume 4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *